Jumat, 23 Desember 2011

siklus produksi beras


Perkembangan Komoditas Beras

Sebagai negara agraris, produksi padi/beras Indonesia cukup besar mencapai 57 juta ton pada tahun 2007 atau menduduki urutan ketiga di dunia setelah China dan India. Sementara tingkat produktivitas per hektar juga sangat baik mencapai 4,9 ton/ha, di atas produktivitas rata-rata negara  Asia sebesar 4,2 ton/ha. Pada tahun 2007, produksi padi nasional mencapai 57,1 juta ton yang sebagian besar disumbang oleh sentra-sentra produksi di Pulau Jawa. Propinsi Jawa Barat merupakan penyumbang terbesar dengan porsi 17,3% diikuti Jawa Timur sebesar 16,6%, Jawa Tengah 15,5%, Sulawesi Selatan 6,3%, Sumatera Utara 5,7%, dan Sumatera Barat 3,4%. Pemerintah secara intensif terus berupaya mendorong peningkatan kapasitas produksi padi melalui kebijakan : (i) ekstensifikasi dengan pembukaan lahan baru, (ii) intensifikasi yang meliputi penggunaan teknologi varietas unggul dan sistem produksi yang efisien, dan (iii) rehabilitasi atas jaringan irigasi dan lahan yang rusak. Berdasarkan estimasi secara agregat, produksi padi/beras nasional tersebut mampu mencukupi kebutuhan konsumsi beras dalam negeri  yang cenderung stabil (Tabel 3.2). Kebutuhan beras tidak bertambah secara signifikan walaupun jumlah penduduk terus meningkat karena konsumsi beras per kapita turun. Penurunan konsumsi beras per kapita tersebut utamanya didorong oleh perubahan selera masyarakat seiring dengan peningkatan pendapatan/kesejahteraan dan himbauan  pemerintah agar masyarakat melakukan diversifikasi pangan untuk mengurangi ketergantungan terhadap beras. 
8. Bobot merupakan rata-rata bobot bulanan yang diperoleh dari proporsi nilai konsumsi komoditi terhadap total nilai konsumsi pada bulan berjalan. Sementara sumbangan merupakan akumulasi sumbangan bulanan selama satu tahun, dimana sumbangan bulanan = bobot x perubahan harga (inflasi) dari komoditi tersebut.

Walaupun secara statistik produksi beras mencukupi, permasalahan muncul ketika terjadi  gap antara produksi dan konsumsi. Produksi beras berfluktuasi mengikuti pola tanam, sementara konsumsi beras stabil sepanjang tahun. Surplus beras meningkat pada masa panen (bulan Februari-April), sementara pada musim kemarau dan musim tanam (Oktober-Januari) mengalami defisit (Grafik  3.3). Harga beras berpotensi turun ketika produksi melimpah (musim panen) yang merugikan petani, dan sebaliknya harga beras akan naik pada saat defisit yang merugikan konsumen sehingga harga beras akan bergejolak sepanjang tahun.


-Untuk mengatasi permasalahan di atas, pemerintah menugaskan Bulog yang telah berubah badan hukum menjadi perusahaan umum (perum).
-Untuk : (i) melakukan pengamanan harga pembelian pemerintah (HPP) untuk melindungi petani, (ii) mendistribusikan beras bersubsidi untuk masyarakat miskin (raskin), (iii) melakukan pemupukan stok beras nasional  (buffer stock) yang dilakukan melalui pembelian beras produksi dalam negeri maupun melalui keran impor, dan (iv) melakukan pengendalian gejolak harga beras yang dilakukan melalui operasi stabilisasi harga beras (OSHB). 
9. Produksi beras = (produksi padi x convertion rate 63,2%) – (10% untuk bibit, susut dan rusak + 8% untuk koreksi lahan). Sementara konsumsi beras = jumlah penduduk x konsumsi beras per kapita .
10. Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 7 Tahun 2003 yang kemudian direvisi menjadi Peraturan Pemerintah RI No. 61 Tahun 2003.
Dalam pelaksanaannya, pengadaan stok  beras oleh Bulog secara empiris didominasi oleh pengadaan dalam negeri dengan porsi sebesar 79%, sisanya sebesar 21% dipenuhi dari impor. Impor beras diijinkan dan dilakukan untuk menutup kekurangan stok beras yang tidak dapat dipenuhi dari dalam negeri sehingga volume berfluktuasi. Volume impor dalam jumlah yang cukup besar hanya terjadi pada tahun 2002, 2003 dan 2007 (Grafik 3.4). Ditinjau dari pola pengadaanya, pola impor cenderung terdistribusi secara merata sepanjang tahun. Sementara pola pengadaan beras dalam negeri dilakukan seiring dengan musim panen yang dimulai pada bulan Maret dengan puncaknya pada bulan April dan Mei (Grafik 3.5). 
Kebijakan pengadaan stok dan pola pembelian gabah/beras dalam negeri yang disesuaikan dengan musim panen tersebut berhasil menjaga harga gabah di atas harga pembelian yang ditetapkan pemerintah. Secara rata-rata, harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani berada di atas harga pembelian pemerintah (HPP), bahkan mengalami peningkatan yang signifikan sejak tahun 2005 (Grafik 3.6). Hal ini patut disambut gembira karena menguntungkan petani dan diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan petani. Namun di sisi lain, peningkatan harga gabah ditingkat petani tersebut akan meningkatkan harga beras di tingkat konsumen.


Harga eceran beras memang bergerak selaras dengan harga gabah ditingkat petani, harga eceran beras langsung meningkat ketika harga gabah di tingkat petani meningkat (Grafik 3.7). Secara rata-rata, porsi harga GKP dalam pembentukan harga eceran beras sebesar 42,5%. Porsi tersebut cenderung meningkat sehingga pada tahun 2007 mencapai 46,9% (Grafik 3.8). Dengan mengambil kasus pada tahun 2007, maka sebesar 53,1% dari harga eceran beras yang mencerminkan disparitas harga utamanya disumbang oleh biaya penyusutan gabah menjadi gabah kering giling (GKG), biaya randemen dari gabah menjadi beras, biaya distribusi, dan margin keuntungan dari masing-masing rantai distribusi.   


Biaya penyusutan dan randemen yang berupa prosentase cenderung bersifat tetap untuk jangka pendek, sementara biaya distribusi dan marjin  keuntungan lebih bersifat variabel yang mudah berubah. Selain dipengaruhi oleh panjang rantai distribusi dan  penentuan marjin keuntungan, biaya penyampaian barang (transportasi) juga sangat berpengaruh terhadap pembentukan dan fluktuasi harga eceran di level konsumen. Biaya transportasi menjadi sangat signifikan jika jarak antara produsen dan konsumen sangat jauh, sehingga peningkatan biaya transportasi yang dipicu oleh peningkatan harga BBM berpengaruh terhadap harga eceran beras. Hubungan antara pergerakan harga BBM dan harga eceran beras ditampilkan pada Grafik 3.9.  


11. Mengemukakan bahwa harga beras domestik dipengaruhi oleh tiga faktor utama, yaitu harga dasar gabah, harga beras di pasar internasional dan jumlah stok beras Bulog. Hubungan yang erat antara harga beras dan harga dasar gabah sejalan dengan fakta pada Grafik 3.7. Sementara hubungan harga eceran domestik dengan harga beras internasional kurang kuat walaupun arahnya cukup  sejalan (Grafik 3.10).
12. Persamaan yang digunakan adalah persamaan elastisitas  (log function) dengan hasil estimasi sebagai berikut : HBD = 1,821 + 0,810 HDG – 0,092 Stok Bulog + 0,227 Harga Internasional (3,36) (11,289) (-3,877) (4,903) dimana, HBD : Harga Beras Domestik dan HDG : Harga Dasar Gabah, beras di pasar internasional selalu jauh di bawah harga domestik, sehingga kebijakan impor beras cukup menguntungkan. Namun sejak kuartal keempat tahun 2007, harga beras di
pasar internasional mengalami lonjakan tajam sehingga lebih tinggi dari harga domestik. Untuk itu, kebijakan impor menjadi merugikan dan kondisi inilah yang mendorong beberapa pihak untuk melakukan ekspor beras. Sementara stok beras Bulog menjadi faktor penting karena dapat dijadikan sebagai ajang spekulasi para pedagang. Penurunan stok Bulog dapat mengindikasikan kerawanan pasokan beras dan penurunan kemampuan Bulog untuk melakukan operasi stabilisasi harga beras (OSHB) sehingga dimanfaatkan para spekulan untuk menaikkan harga beras di pasaran.



Dalam kurun waktu tiga tahun (Januari 2005-Desember 2007), rata-rata harga eceran beras meningkat Rp.2.418 (85%) dari Rp.2.845 menjadi Rp.5.263. Untuk mengurangi tekanan kenaikan harga beras tersebut, Bulog melakukan operasi stabilisasi harga beras (OSHB) dengan menjual beras di bawah harga pasar (Grafik 3.11). Namun, OSHB yang dilakukan Bulog terlihat kurang efektif dalam menekan kenaikan harga eceran beras. Hal ini disebabkan oleh rendahnya kemampuan  Bulog dalam pelaksanaan OSHB karena kecilnya porsi penyaluran beras yang ditujukan untuk operasi pasar. Penyaluran stok beras Bulog memang dilakukan untuk dua tujuan, yaitu (i) penyaluran beras untuk rakyat miskin (raskin), dan (ii) penyaluran beras untuk stabilisasi harga  (operasi pasar). Sejak tahun 2002, raskin mendominasi penyaluran beras Bulog dengan porsi sebesar 86,6%. Sementara porsi penyaluran beras untuk operasi pasar (OSHB) hanya sebesar 13,4%  atau rata-rata sebesar 311 ribu ton pertahun (Grafik 3.12). Kondisi ini tentu mengurangi kemampuan dan efektifitas kebijakan OSHB.